Senin, 28 September 2015

Perkembangan pendidikan islam diera reformasi

Tugas Makalah : Sejarah Pendidikan Islam
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA REFORMASI, IDE PENDIDIKAN SATU ATAP, PERUBAHAN UU NO 2 TAHUN 1989, BEBERAPA CATATAN TENTANG UU NO 20 TAHUN 2003, SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL, PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
DI SUSUN OLEH :
ZULKIFLY DAVID
 (14010101091)
NURSYAMSI
(14010101099)

FAKULTAS TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN QAIMUDDIN KENDARI
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Reformasi ?
2.      Bagaimana ide pendidikan satu atap ?
3.      Bagaimana perubahan UU No 2 tahun 1989 ?
4.      Penjelasan tentang UU No 20 tahun 2003 ?
5.      Bagaimana sekolah bertaraf internasional ?
6.      Bagaimana pengembangan sumbere daya manusia ?











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
       Pada masa awal kemerdekaan pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualitis yaitu :
1.      Sistem pendidkan an pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan dari kolonial Belanda
2.      Sistem pendidikan dan pengajaran islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam sendiri
Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakan terutama di kakalangan atas saja. Namun demikian, sejak saat itu sudah dimulai kerangka dikotomik dalam sistem pendidikan untuk rakyat Indonesia, sekolah umum dengan pendidikan islam. Meskipun demikian hasil penelitian Husni Rahim mengatakan bahwa dalam perkebangannya banyak sekolah Islam yang mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah, karena menggunakan sistem dan kurukulum yang hampir sama dengan sekolah-sekolah pemerintah. Sementara itu, pesantren pada umumnya tetap menjaga jarak ( non kooperatif ) dengan sistem persekolahan, baik karena alasan agamis maupun politis.
Kedua sistem ini tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berakar dalam masyarakat. Bahkan pada masa pemerintahan Orde lama pendidikan Islam mendapat tantangan secara politisi. Hal ini terlihat ketika pemerintah sudah mengakui keberadaan Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar pendidkan satu atap yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun berkat kegigihan kaum muslimin, upaya ini tidak berlanjut. Tetapi pembaharuan madrasah masih bisa dilakukan.[1]
Program peningkatan mutu pendidikan yang di targetkan oleh pemerintah Orde baru akan mulai berlangsung pada pelita VII terpaksa gagal, krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi masional. Secara politik, Orde baru berakir dan di gantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “reformasi pembangunan” meskipun demikian sebagian besar Orde reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde baru, tapi ada sedikit perubahan berupa adanya kebabasan pers dan multi partai.
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah di mulai sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan pada sistem pendidikan agar lebih demokratis. Tugas jangka pendek kabinet reformasi yang paling pokok adalah bagaimana menjaga agar tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi dan tidak banyak yang putus sekolah.
Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang berkepanjangan, beban pemerintah menjadi sangat berat. Sehingga terpaksa harus menggunakan program termasuk didalamnya program penyataraan guru-guru dan mentolerir terjadinya kemunduran penyelesaian program wajib belajar 9 tahun. Sekolah sendidri mengalami masahah berat sehubungan dengan naiknya operasional di suatu pihak dan makin menurunnya jumlah masukandari sisiwa. Pembangunan di bidang penddidikanpun mengalami kemunduran.
Beberapa hal yang menyebabkan program pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan belum terpenuhi secara maksimal :
1.      Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan kelas bawah
2.      Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum mendapatkan pos yang strategis
3.      Munculnya sektor industri yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikkan Islam di Indonesia pada masa refoermasi ini
4.      Perbaharuan-perubahan sosial yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam dialegtik pembangunan sebagaimana tersebut diatas.
        Semua hal diatas adalah faktor penyebab dari tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam menjalankan pembangunan dalam sektor pendidikan agama khususnya bagi Islam. Semua itu sangat memprihatinkan apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya retrospeksi atas kegagalan tersebut.
  Yang harus disadari adalah lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembangunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
            HM. Yusuf Hasyim mengungkapkan betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia hanya dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus pendidikan Islam bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam arti yang seluas-luasnya. Dari titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.[2]
B. Ide Pendidikan Satu atap
1.        Pengertian Sekolah Satu Atap/Sekolah Terpadu
Sekolah Terpadu adalah sekolah-sekolah yang diselenggarakan berada dalam satu komplek dan di kelola secara terpadu baik dari aspek kurikulum, pembelajaran, guru, sarana dan prasarana, managemen, dan evaluasi, sehingga menjadi sekolah yang efektif dan berkualitas.[3] Kualitas yang dimaksud adalah sekolah tersebut minimal memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya, meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan. Di samping itu, Sekolah Terpadu diharapkan mampu mengembangkan budaya sekolah dan lingkungan sekolah yang mendukung ketercapaian standar internasional dari berbagai aspek tersebut.
2.        Konsep dan Model Sekolah Satu Atap/Sekolah Terpadu
 Sekolah terpadu mengedepankan prinsip seamless education yaitu pendidikan yang saling berkesinambungan dan terpadu. Building image menjadi satu, sehingga SD, SMP, dan SMA merupakan satu bagian yang utuh. Seperti guru, staf, lab, ruang kelas, gedung atau sumber daya sekolah lainnya merupakan milik bersama (resources sharing). Ada beberapa keunggulan dari sekolah terpadu diantaranya:
a.          adanya keterpaduan dan proses yang berkesinambungan antara pelaksanaan pembelajaran antara SD, SMP, dan SMA
b.         sarana-prasarana yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara bersama-sama, sehingga penggunaannya lebih efisien dan efektif
c.          Guru dan staf dapat saling memperkuat dan mensinkronkan isi dan model pembelajaran, sehingga prosesnya menjadi berkelanjutan atau tidak terputus pada jenjang yang berikutnya
d.         siswa setelah lulus dapat melanjutkan pendidikannya sampai jenjang SMA di satu sekolah yang sama tanpa khawatir memerlukan proses adaptasi lagi, sehingga gairah bersekolah dan kompetensi yang dikembangkan menjadi berkelanjutan. 
Untuk membangun sekolah terpadu yang berbasis keunggulan, maka seluruh proses kegiatan belajar mengajar perlu dibangun secara terpadu, stimulatif, fasilitatif dan motivatif.
Idenya, sekolah yang berada dalam satu kawasan menjadi satu manajemen agar lebih efisien dan dan efektif. Beberapa cirinya adalah guru dalam tugasnya mengajarkan sesuai mata pelajaran dan dapat mengajar di lintas jenjang sekolah bila memiliki kompetensi yang relevan; Sarana prasarana dan fasilitas menjadi milik bersama dan dapat digunakan secara terpadu; Komite SD, SMP, dan SMA bergabung dalam komite sekolah terpadu; Keuangan seperti spp, sumbangan, dll masuk dalam satu rekening sekolah terpadu. Pada teknisnya, direktur sebagai pengendali akan mengalokasikan pendanaan sesuai kebutuhan dan alokasi yang relevan.[4]
C.   Perubahan UU No 2 Tahun 1989
Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
Menurut Karnadi Hasan, UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.[5]
D.   Beberapa Catatan Tentang UU No. 20 Tahun 2003
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Hal penting dalam system pendidikan nasional adalah dicantumkannya Madrasah Diniyah dan Pesantren sebagai pilar pendidikan di Indonesia. Regulasi pendidikan keagamaan dalam UU No. 20/2003 dapat diduga bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pengakuan terhadap model-model pendidikan yang selama ini sudah berjalan di masyarakat secara formal (misalnya Madrasah diniyah salafiah al muallimin) namun tidak diakreditasi oleh pemerintah karena kurikulumnnya mandiri, alias tidak mengikuti kurikulum sekolah atau madrasah pada umumnya, justru kemandirian kurikulum pendidikan keagamaan ini dipandang perlu dipertahankan dalam rangka memenuhi ragam karakter layanan pendidikan sesuai kebutuhan manyarakat.
Sebenarnya, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan. Melalui SKB Dua Menteri Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. STTB atau Ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur oleh departemen terkait.Namun tidak semua pesantren salafiyah mengikuti ketentuan SKB Dua Menteri di atas, sebagian mereka memilih tetap mempertahankan tradisinya. Sikap tidak mengikuti ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pihak pesantren itu sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka akan hilangnya identitas salaf yang telah dipertahankan selama ini karena keagamaan dijelaskan Pasal 30 ayat (4). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.masuknya intervensi pemerintah terhadap kurikulum pesantren.
Dengan demikian, sebenarnya pesantren dan madrasah diniyah sebagai sumber pendidikan dan pecerdasan masyarakat Indonesia, yang sudah berurat berakar sejak sebelum kemerdekaan ternyata baru mendapatkan pengakuan secara yuridis pada era reformasi ini. Pengakuan tersebut sangaat jelas tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan lainnya.Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan agama dalam UU Sisdiknas Tahun 2003
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006.
Tahun 2013, pemerintah mengubah lagi kurikulum 2006, yuitu dengan adanya kurikulum 2013. Karakteristik dan ciri yang sangat menonjol adalah mewujudkan pendidikan berkarakter Pendidkan berkarakter sebenarnya merupakan karakter dan ciri pokok kurikulum pendidikan sebelumnya. Dimana dalam kurikulum tersebut dituntut bagaimana mencetak peserta didik yang memiliki karakter yang baik, bermoral dan mmemiliki budi pekerti yang baik. Namun pada implementasi kkurikulum ini masih terdapat berbagai kekuragan sehingga menuaiberbagai kritik. sehingga kurikulum berbasis kompetensi ini direvisi guna menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan dan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang berkaitan langsung dengan mata pelajaran agama adalah adanya penambahan jam tatap muka Mapel PAI, yaitu yang dulu hanya 2 jam, menjadi 3 jam tatap muka dalam seminggu. Menurut M. Nuh, Kurikulum 2013, adalah kemenangan bagi umat Islam, karena dengan penambahan jumlah jam tatap muka, sekolah membutuhkan guru agama yang lebih banyak lagi.
E. Sekolah Bertaraf Internasional
Menurut data Education Development Index (EDI) yang diterbitkan UNESCO pada 2007, peringkat Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 58 menjadi peringkat 62 dari antara 130 negara.  Skor EDI Indonesia adalah 0,935 yang lebih rendah daripada Malaysia (0,945) dan Brunei Darusalam (0,965). Hal ini mendorong para penanggungjawab dan pelaku pendidikan di Indonesia untuk berupaya mendesain berbagai program dan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ke arah yang lebih baik.[6]
SBI adalah salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia [Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003  pasal 50 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 61 ayat (1)].
Untuk mendukung program pemerintah dalam merealisasikan UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3,5 PP No. 19 Pasal 61 ayat 1, serta Renstra Depdiknas periode 2005-2009 mengenai kebijakan dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, salah satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI ini merupakan salah satu dari empat model penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
1.         Sekolah model pertama adalah sekolah potensional yaitu; sekolah yang masih banyak kekurangan/kelemahan untuk memenuhi kriteria sekolah yang sesuai dengan Standar Pendidikan Nasional.
2.         Kategori Sekolah Standar Nasional.
3.         kategori Sekolah Standar Nasional dan memiliki keunggulan lokal.
4.         sekolah kategori keempat adalah Sekolah BertarafInternasional (SBI).
Sekolah bisa disebut dengan SBI jika sekolah ini telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan pada tiap aspeknya, meliputi: standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan.
Sebelum menjadi sekolah SBI sekolah biasanya masih dikategorikan sebagai RSBI. Rintisan ini bersifat sementara saja sampai akhirnya benarbenar menjadi SBI. Sekolah yang masuk kategori RSBI adalah sekolah-sekolah yang dipersiapkan secara bertahap melalui pembinaan oleh pemerintah dan stakeholders, dalam jangka waktu tertentu yaitu empat tahun diharapkan sekolah tersebut mampu dan memenuhi kriteria untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dalam konteks ini Direktorat Pembinaan SMP bersama dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota pada dasarnya bertugas untuk melaksanakan uji coba atau melaksanakan pembinaan awal menuju sekolah yang bertaraf internasional, dan selanjutnya secara bertahap dapat mencapai standar sekolah yang benar-benar bertaraf internasional.
Secara garis besar sekolah yang masuk kategori RSBI memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1.      Landasan Hukum.
a.       UU No. 20 Tahun 2003 ps 50 UU No. 32 Tahun 2004: Pemerintahan Pusat dan Daerah.
b.      UU No. 33 Tahun 2004: Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
c.       UU No. 25 Tahun 2000: Program Pembangunan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005: Standar Nasional Pendidikan (SNP), Pasal 61 Permendiknas No. 22, 23, 24 Tahun 2006: Standar Isi, SKL dan Implementasinya.
d.      Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam pasal 61 ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasardan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah beratraf internasional.
e.       Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
f.       Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
g.      Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan. [7]
F.   Pengembangan Sumber Daya Manusia
      1.   Pengertian Sumber Daya Manusia
Pengembangan SDM merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan bersifat terintegrasi dan holistik dalam mengubah prilaku orang-orang yang terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan menggunakan serangkaian teknik dan strategi belajar yang relevan . Konsep ini mengandung makna adanya berbagai unsur kegiatan selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur pendidikan, adanya unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan dimaksudkan untuk menentukan teknik dan strategi yang relevan untuk mengubah prilaku. Unsur belajar dimaksudkan untuk menggambarkan proses terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan, termasuk dengan pendidik. Adapun unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses gradual dalam perubahan dari suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya kompetensi menjadi keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.

      2.   Pengembangan SDM Melalui Pendidikan
Pengembangan SDM yang membawa misi sebagaimana disebutkan di atas difokuskan pada peningkatan ketahanan dan kompetensi setiap individu yang terlibat atau akan terlibat dalam proses pembangunan. Peningkatan ketahanan dan kompetensi ini di antaranya dilaksanakan melalui pendidikan. Bila dikaitkan dengan pengembangan SDM dalam rangka meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri, pendidikan juga merupakan upaya meningkatkan derajat kompetensi dengan tujuan agar pesertanya adaptable  terhadap berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan seharusnya juga memberi bekal-bekal kemampuan dan keterampilan untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Program semacam ini harus dilaksanakan dengan disesuaikan dengan keperluan dan usaha yang mengarah kepada antisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik di masa kini maupun yang akan datang.
Pada sisi peningkatan kualitas SDM, pembangunan diarahkan untuk menjadikan rakyat negeri ini kreatif, menguasai serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), dan memiliki moralitas. Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau masalah.
Penguasaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS sangat dibutuhkan untuk peningkatan taraf hidup, dan agar bangsa ini bisa disandingkan dan ditandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Ini mengingat, globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak bisa dihindari dan berdampak pada terjadinya persaingan yang ketat, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk  bisa memasuki pergaulan dalam kehidupan global (persandingan dengan masyarakat global) maupun untuk meraih keberhasilan dalam berbagai kesempatan yang tersedia (pertandingan dalam kehidupan global) diperlukan pengusaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS.[8]
















BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, pemerintah di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaiakan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde Baru yang dilakukan secarah menyeluruh, yang meluputi bidang politik, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifat yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan  fairness dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman, dan sejahterah.
Kedua, Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh melehirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang pembaruan Undang-undang sistem pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah anggaran pendidikan yang amat signifikan, yakni dari yang semula hanya 5% menjadi 20% dari total anggaran APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke arah pengembangan para kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan melalui program sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan metode pembelajaran ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen center).
Ketiga, barbagai kebijakan pemerintahan era roformasi dalam bidang pendidikan tersebut berlaku bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung di bawah kementrian pendidkan nasional saja, melainkan juga berlakau bagi madrasah dan perguruan tinggi agama yang bernaung di bawah kementrian agama. Dengan demikian kesan dikotomis antar pendidikan agama dan pendidikan umum, dan kesan perlakuan diskriminasi pemerintah terhadap pendidikan agama sudah tidak tampak lagi.


DAFTAR PUSTAKA
David Zulkifly, 25 juni, 2015

Drs. Pairin MA, Sejarah Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Kendari, CV. Shadra, 2009.
(di akses pada tanggal 27 juni 2015)
                                  
http://berbagi-makalah.blogspot.com/2011/02/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html     (di akses pada tanggal 24 juni 2015, pukul 16:00)
(di akses pada tanggal 25 juni pukul 13:0 tahun 2015)


(di akses pada tanggal 26 juni 2015, pukul 16:00)












Lampiran :
PERTANYAAN
1.        Apa yang menjadi kendala pada pendidikan Islam di era reformasi ? (Yasmanto)
2.        Apa yang menjadi landasan atau ciri sehingga suatu sekolah itu di katakan bertaraf internasional (SBI) ? (Albar)
3.        Jelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan satu atap ? (Dasrun)

JAWABAN
1.                   Beberapa hal yang menjadi kendala dan menyebabkan program pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan Islam belum terpenuhi secara maksimal pada era reformasi antara lain :
a.     Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan kelas bawah
b.    Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum mendapatkan pos yang strategis
c.     Munculnya sektor industri yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikkan Islam di Indonesia pada masa refoermasi ini
d.    Perbaharuan-perubahan sosial yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam dialegtik pembangunan sebagaimana tersebut diatas.
e.     Bahkan pada masa pemerintahan Orde lama pendidikan Islam mendapat tantangan secara politisi. Hal ini terlihat ketika pemerintah sudah mengakui keberadaan Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar pendidkan satu atap yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun berkat kegigihan kaum muslimin, upaya ini tidak berlanjut. Tetapi pembaharuan madrasah masih bisa dilakukan.

2.                             Sekolah bisa disebut dengan SBI jika sekolah ini telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan pada tiap aspeknya yang meliputi:  standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan. Yang di maksud lulusan dengan ciri keniternasionalan disini yang di maksut adalah lulusan dari sekolah tersebut mampu menguasai bahasa dunia.
3.                       Sekolah Terpadu adalah sekolah-sekolah yang diselenggarakan berada dalam satu komplek dan di kelola secara terpadu baik dari aspek kurikulum, pembelajaran, guru, sarana dan prasarana, managemen, dan evaluasi, sehingga menjadi sekolah yang efektif dan berkualitas. Kualitas yang dimaksud adalah sekolah tersebut minimal memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya, meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan. Di samping itu, Sekolah Terpadu diharapkan mampu mengembangkan budaya sekolah dan lingkungan sekolah yang mendukung ketercapaian standar internasional dari berbagai aspek tersebut.
           Sekolah terpadu mengedepankan prinsip seamless education yaitu pendidikan yang saling berkesinambungan dan terpadu. Building image menjadi satu, sehingga SD, SMP, dan SMA merupakan satu bagian yang utuh. Seperti guru, staf, lab, ruang kelas, gedung atau sumber daya sekolah lainnya merupakan milik bersama (resources sharing).


[1] Drs. Pairin MA., Sejarah Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Ed. Pertama. Cet. Ke-1, KENDARI; CV. SHADRA 2009. Hal 21-22
[3]  Zulkifly David, 25 juni, 2015.
[4] http://anwarholil.blogspot.com/2009/02/mengembangkan-terpadu.html ( di akses pada tanggal 27 juni 2015 Pukul 10:00 )
[7] http://503win.tumblr.com/post/15348375803/sekolah-bertaraf-internasional-sbi-sekolah (di akses pada tanggal 25 juni tahun 2015, pukul 13:00)
[8] http://503win.tumblr.com/post/15348375803/   pengembangan-sumber-daya-manusia  (di akses pada tanggal 26 juni 2015, pukul 16:00)