Tugas
Makalah : Sejarah Pendidikan Islam
PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA REFORMASI, IDE PENDIDIKAN SATU ATAP, PERUBAHAN UU NO 2
TAHUN 1989, BEBERAPA CATATAN TENTANG UU NO 20 TAHUN 2003, SEKOLAH BERTARAF
INTERNASIONAL, PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

DI SUSUN
OLEH :
ZULKIFLY DAVID
(14010101091)
NURSYAMSI
(14010101099)
FAKULTAS TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
SULTAN QAIMUDDIN KENDARI
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan
penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan,
keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih
demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis
dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang
bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku
bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Pendidikan
Islam pada Masa Reformasi ?
2. Bagaimana ide pendidikan satu atap ?
3. Bagaimana perubahan UU No 2 tahun 1989 ?
4. Penjelasan tentang UU No 20 tahun 2003 ?
5. Bagaimana sekolah bertaraf internasional ?
6. Bagaimana pengembangan sumbere daya manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa
Reformasi
Pada masa awal kemerdekaan pemerintah dan
bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualitis yaitu
:
1.
Sistem
pendidkan an pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal
ajaran agama yang merupakan warisan dari kolonial Belanda
2.
Sistem
pendidikan dan pengajaran islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan
masyarakat Islam sendiri
Kedua sistem pendidikan tersebut
sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah
satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya
hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakan terutama di
kakalangan atas saja. Namun demikian, sejak saat itu sudah dimulai kerangka
dikotomik dalam sistem pendidikan untuk rakyat Indonesia, sekolah umum dengan
pendidikan islam. Meskipun demikian hasil penelitian Husni Rahim mengatakan
bahwa dalam perkebangannya banyak sekolah Islam yang mendapat pengakuan dan
subsidi dari pemerintah, karena menggunakan sistem dan kurukulum yang hampir
sama dengan sekolah-sekolah pemerintah. Sementara itu, pesantren pada umumnya
tetap menjaga jarak ( non kooperatif ) dengan sistem persekolahan, baik karena
alasan agamis maupun politis.
Kedua sistem ini tumbuh dan
berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berakar dalam masyarakat.
Bahkan pada masa pemerintahan Orde lama pendidikan Islam mendapat tantangan
secara politisi. Hal ini terlihat ketika pemerintah sudah mengakui keberadaan
Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar
pendidkan satu atap yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun berkat
kegigihan kaum muslimin, upaya ini tidak berlanjut. Tetapi pembaharuan madrasah
masih bisa dilakukan.[1]
Program peningkatan mutu pendidikan yang di targetkan
oleh pemerintah Orde baru akan mulai berlangsung pada pelita VII terpaksa
gagal, krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah
konstelasi politik maupun ekonomi masional. Secara politik, Orde baru berakir
dan di gantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “reformasi pembangunan”
meskipun demikian sebagian besar Orde reformasi masih tetap berasal dari rezim
Orde baru, tapi ada sedikit perubahan berupa adanya kebabasan pers dan multi
partai.
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya
melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah di mulai sejak tahun 1994
serta melakukan perbaikan pada sistem pendidikan agar lebih demokratis. Tugas
jangka pendek kabinet reformasi yang paling pokok adalah bagaimana menjaga agar
tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi dan tidak banyak yang
putus sekolah.
Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang
berkepanjangan, beban pemerintah menjadi sangat berat. Sehingga terpaksa harus
menggunakan program termasuk didalamnya program penyataraan guru-guru dan
mentolerir terjadinya kemunduran penyelesaian program wajib belajar 9 tahun.
Sekolah sendidri mengalami masahah berat sehubungan dengan naiknya operasional
di suatu pihak dan makin menurunnya jumlah masukandari sisiwa. Pembangunan di
bidang penddidikanpun mengalami kemunduran.
Beberapa hal yang menyebabkan program pembangunan
pemerintah dalam sektor pendidikan belum terpenuhi secara maksimal :
1. Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan kelas
bawah
2. Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang bersifat fisik
material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum mendapatkan pos
yang strategis
3. Munculnya sektor industri yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang
serius bagi pendidikkan Islam di Indonesia pada masa refoermasi ini
4. Perbaharuan-perubahan sosial yang berjalan tidak berurutan secara tertib,
bahkan terkadang eksklusif dalam dialegtik pembangunan sebagaimana tersebut
diatas.
Semua hal diatas adalah faktor
penyebab dari tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam menjalankan
pembangunan dalam sektor pendidikan agama khususnya bagi Islam. Semua itu
sangat memprihatinkan apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya
retrospeksi atas kegagalan tersebut.
Yang harus disadari adalah lembaga pendidikan
Islam adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi
jalannya pembangunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang
pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia
telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
HM. Yusuf Hasyim mengungkapkan betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia hanya dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus pendidikan Islam bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam arti yang seluas-luasnya. Dari titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.[2]
HM. Yusuf Hasyim mengungkapkan betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia hanya dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus pendidikan Islam bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam arti yang seluas-luasnya. Dari titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.[2]
B. Ide Pendidikan Satu atap
1.
Pengertian Sekolah
Satu Atap/Sekolah Terpadu
Sekolah Terpadu adalah sekolah-sekolah yang diselenggarakan berada
dalam satu komplek dan di kelola secara terpadu baik dari aspek kurikulum,
pembelajaran, guru, sarana dan prasarana, managemen, dan evaluasi, sehingga
menjadi sekolah yang efektif dan berkualitas.[3]
Kualitas yang dimaksud adalah sekolah tersebut minimal memenuhi Standar
Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya, meliputi kompetensi lulusan, isi,
proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan,
pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan
dengan ciri keinternasionalan. Di samping itu, Sekolah Terpadu diharapkan mampu
mengembangkan budaya sekolah dan lingkungan sekolah yang mendukung ketercapaian
standar internasional dari berbagai aspek tersebut.
2.
Konsep dan
Model Sekolah Satu Atap/Sekolah Terpadu
Sekolah terpadu
mengedepankan prinsip seamless education yaitu pendidikan yang saling
berkesinambungan dan terpadu. Building image menjadi satu, sehingga SD, SMP,
dan SMA merupakan satu bagian yang utuh. Seperti guru, staf, lab, ruang kelas,
gedung atau sumber daya sekolah lainnya merupakan milik bersama (resources
sharing). Ada beberapa keunggulan dari sekolah terpadu diantaranya:
a.
adanya
keterpaduan dan proses yang berkesinambungan antara pelaksanaan pembelajaran
antara SD, SMP, dan SMA
b.
sarana-prasarana
yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara bersama-sama, sehingga penggunaannya
lebih efisien dan efektif
c.
Guru dan staf
dapat saling memperkuat dan mensinkronkan isi dan model pembelajaran, sehingga
prosesnya menjadi berkelanjutan atau tidak terputus pada jenjang yang
berikutnya
d.
siswa setelah
lulus dapat melanjutkan pendidikannya sampai jenjang SMA di satu sekolah yang
sama tanpa khawatir memerlukan proses adaptasi lagi, sehingga gairah bersekolah
dan kompetensi yang dikembangkan menjadi berkelanjutan.
Untuk
membangun sekolah terpadu yang berbasis keunggulan, maka seluruh proses
kegiatan belajar mengajar perlu dibangun secara terpadu, stimulatif,
fasilitatif dan motivatif.
Idenya, sekolah yang berada dalam satu kawasan menjadi satu
manajemen agar lebih efisien dan dan efektif. Beberapa cirinya adalah guru
dalam tugasnya mengajarkan sesuai mata pelajaran dan dapat mengajar di lintas
jenjang sekolah bila memiliki kompetensi yang relevan; Sarana prasarana dan
fasilitas menjadi milik bersama dan dapat digunakan secara terpadu; Komite SD,
SMP, dan SMA bergabung dalam komite sekolah terpadu; Keuangan seperti spp,
sumbangan, dll masuk dalam satu rekening sekolah terpadu. Pada teknisnya,
direktur sebagai pengendali akan mengalokasikan pendanaan sesuai kebutuhan dan
alokasi yang relevan.[4]
C. Perubahan UU No 2 Tahun 1989
Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara
dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti
tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan
pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional
pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya,
yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan
Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang
Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah
disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan
pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
Menurut Karnadi Hasan,
UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan
sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan
bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem)
dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan
agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan
dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara
keseluruhan.
Selain itu UU ini juga
telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB
yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan
pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin
pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan,
dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama
Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan
agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah
menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran
agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh
sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di
kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk
mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di
seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai
Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran,
termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana
pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya
di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program
pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra
Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi,
Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan
perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter
pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim
Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan
UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan
gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan
dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati
pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.[5]
D. Beberapa Catatan Tentang UU No. 20 Tahun
2003
Selanjutnya pada tahun
2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya
disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang
menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama
sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,”
(Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau
guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan
sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus
”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990,
tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya
Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama
Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan
sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang
menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah
yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan
agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial,
seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan
muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan,
’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang
baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan,
tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Hal penting dalam
system pendidikan nasional adalah dicantumkannya Madrasah Diniyah dan Pesantren
sebagai pilar pendidikan di Indonesia. Regulasi pendidikan keagamaan dalam UU
No. 20/2003 dapat diduga bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pengakuan
terhadap model-model pendidikan yang selama ini sudah berjalan di masyarakat
secara formal (misalnya Madrasah diniyah salafiah al muallimin)
namun tidak diakreditasi oleh pemerintah karena kurikulumnnya mandiri, alias
tidak mengikuti kurikulum sekolah atau madrasah pada umumnya, justru
kemandirian kurikulum pendidikan keagamaan ini dipandang perlu dipertahankan
dalam rangka memenuhi ragam karakter layanan pendidikan sesuai kebutuhan
manyarakat.
Sebenarnya, pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pesantren telah mendapatkan beberapa
kemudahan. Melalui SKB Dua Menteri Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para
santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan
Diniyah Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama),
yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula
tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan
yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata
pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. STTB atau Ijazah yang
dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah
setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur
oleh departemen terkait.Namun tidak semua pesantren salafiyah
mengikuti ketentuan SKB Dua Menteri di atas, sebagian mereka memilih tetap
mempertahankan tradisinya. Sikap tidak mengikuti ini dapat disebabkan karena
ketidaktahuan pihak pesantren itu sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka
akan hilangnya identitas salaf yang telah dipertahankan selama ini karena
keagamaan dijelaskan Pasal 30 ayat (4). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.masuknya intervensi pemerintah terhadap
kurikulum pesantren.
Dengan demikian,
sebenarnya pesantren dan madrasah diniyah sebagai sumber pendidikan dan
pecerdasan masyarakat Indonesia, yang sudah berurat berakar sejak sebelum
kemerdekaan ternyata baru mendapatkan pengakuan secara yuridis pada era
reformasi ini. Pengakuan tersebut sangaat jelas tertuang dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini diakui
kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan di samping
pendidikan lainnya.Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan agama
dalam UU Sisdiknas Tahun 2003
Perjalanan kebijakan
pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi
pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik
karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif
(CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat
untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara
konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional,
sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006.
Tahun 2013, pemerintah
mengubah lagi kurikulum 2006, yuitu dengan adanya kurikulum 2013. Karakteristik
dan ciri yang sangat menonjol adalah mewujudkan pendidikan berkarakter
Pendidkan berkarakter sebenarnya merupakan karakter dan ciri pokok kurikulum
pendidikan sebelumnya. Dimana dalam kurikulum tersebut dituntut bagaimana
mencetak peserta didik yang memiliki karakter yang baik, bermoral dan mmemiliki
budi pekerti yang baik. Namun pada implementasi kkurikulum ini masih terdapat berbagai
kekuragan sehingga menuaiberbagai kritik. sehingga kurikulum berbasis
kompetensi ini direvisi guna menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan
dan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang berkaitan langsung dengan
mata pelajaran agama adalah adanya penambahan jam tatap muka Mapel PAI, yaitu
yang dulu hanya 2 jam, menjadi 3 jam tatap muka dalam seminggu. Menurut M. Nuh,
Kurikulum 2013, adalah kemenangan bagi umat Islam, karena dengan penambahan
jumlah jam tatap muka, sekolah membutuhkan guru agama yang lebih banyak lagi.
E. Sekolah Bertaraf Internasional
Menurut
data Education Development Index (EDI) yang diterbitkan UNESCO pada 2007,
peringkat Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 58 menjadi peringkat 62
dari antara 130 negara. Skor EDI Indonesia adalah 0,935 yang lebih rendah
daripada Malaysia (0,945) dan Brunei Darusalam (0,965). Hal ini mendorong para
penanggungjawab dan pelaku pendidikan di Indonesia untuk berupaya mendesain
berbagai program dan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ke
arah yang lebih baik.[6]
SBI
adalah salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia [Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat
(3) dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 61 ayat (1)].
Untuk mendukung
program pemerintah dalam merealisasikan UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3,5 PP No. 19 Pasal 61 ayat 1, serta
Renstra Depdiknas periode 2005-2009 mengenai kebijakan dalam peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing, salah satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). RSBI ini merupakan salah satu dari empat
model penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
1.
Sekolah model
pertama adalah sekolah potensional yaitu; sekolah yang masih banyak
kekurangan/kelemahan untuk memenuhi kriteria sekolah yang sesuai dengan Standar
Pendidikan Nasional.
2.
Kategori
Sekolah Standar Nasional.
3.
kategori
Sekolah Standar Nasional dan memiliki keunggulan lokal.
4.
sekolah
kategori keempat adalah Sekolah BertarafInternasional (SBI).
Sekolah bisa disebut dengan SBI jika
sekolah ini telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan pada tiap aspeknya,
meliputi: standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana,pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah
menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan.
Sebelum
menjadi sekolah SBI sekolah biasanya masih dikategorikan sebagai RSBI. Rintisan
ini bersifat sementara saja sampai akhirnya benarbenar menjadi SBI. Sekolah
yang masuk kategori RSBI adalah sekolah-sekolah yang dipersiapkan secara
bertahap melalui pembinaan oleh pemerintah dan stakeholders, dalam jangka waktu
tertentu yaitu empat tahun diharapkan sekolah tersebut mampu dan memenuhi
kriteria untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dalam konteks ini
Direktorat Pembinaan SMP bersama dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten/Kota pada dasarnya bertugas untuk melaksanakan uji coba atau
melaksanakan pembinaan awal menuju sekolah yang bertaraf internasional, dan
selanjutnya secara bertahap dapat mencapai standar sekolah yang benar-benar
bertaraf internasional.
Secara
garis besar sekolah yang masuk kategori RSBI memiliki spesifikasi sebagai
berikut:
1.
Landasan Hukum.
a.
UU No. 20 Tahun
2003 ps 50 UU No. 32 Tahun 2004: Pemerintahan Pusat dan Daerah.
b.
UU No. 33 Tahun
2004: Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom.
c.
UU No. 25 Tahun
2000: Program Pembangunan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005: Standar Nasional
Pendidikan (SNP), Pasal 61 Permendiknas No. 22, 23, 24 Tahun 2006: Standar Isi,
SKL dan Implementasinya.
d.
Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam pasal 61
ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan
dasardan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi sekolah beratraf internasional.
e.
Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
f.
Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
F. Pengembangan Sumber Daya
Manusia
1. Pengertian Sumber Daya Manusia
Pengembangan SDM
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan
bersifat terintegrasi dan holistik dalam mengubah prilaku orang-orang yang
terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan menggunakan serangkaian teknik
dan strategi belajar yang relevan . Konsep ini mengandung makna adanya berbagai
unsur kegiatan selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur
pendidikan, adanya unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan
dimaksudkan untuk menentukan teknik dan strategi yang relevan untuk mengubah
prilaku. Unsur belajar dimaksudkan untuk menggambarkan proses terjadinya
interaksi antara individu dengan lingkungan, termasuk dengan pendidik. Adapun
unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses gradual dalam perubahan dari
suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya kompetensi menjadi
keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.
2.
Pengembangan SDM Melalui Pendidikan
Pengembangan SDM yang
membawa misi sebagaimana disebutkan di atas difokuskan pada peningkatan
ketahanan dan kompetensi setiap individu yang terlibat atau akan terlibat dalam
proses pembangunan. Peningkatan ketahanan dan kompetensi ini di antaranya
dilaksanakan melalui pendidikan. Bila dikaitkan dengan pengembangan SDM dalam
rangka meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri, pendidikan juga merupakan
upaya meningkatkan derajat kompetensi dengan tujuan agar pesertanya adaptable
terhadap berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu,
pendidikan yang diselenggarakan seharusnya juga memberi bekal-bekal kemampuan
dan keterampilan untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan
agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Program semacam ini harus
dilaksanakan dengan disesuaikan dengan keperluan dan usaha yang mengarah kepada
antisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik di masa kini maupun yang akan
datang.
Pada sisi peningkatan
kualitas SDM, pembangunan diarahkan untuk menjadikan rakyat negeri ini kreatif,
menguasai serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS), dan memiliki moralitas. Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan
hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas,
seseorang menjadi dinamis dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika
menghadapi kesulitan atau masalah.
Penguasaan dan
kemampuan mengembangkan IPTEKS sangat dibutuhkan untuk peningkatan taraf hidup,
dan agar bangsa ini bisa disandingkan dan ditandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Ini mengingat, globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak
bisa dihindari dan berdampak pada terjadinya persaingan yang ketat, baik dalam
kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik. Untuk bisa memasuki pergaulan
dalam kehidupan global (persandingan dengan masyarakat global) maupun untuk
meraih keberhasilan dalam berbagai kesempatan yang tersedia (pertandingan dalam
kehidupan global) diperlukan pengusaan dan kemampuan mengembangkan IPTEKS.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan
beberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, pemerintah di era reformasi lahir sebagai koreksi,
perbaiakan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde
Baru yang dilakukan secarah menyeluruh, yang meluputi bidang politik,
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan
pada sifat yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung
jawab dan fairness dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur, tertib, aman, dan sejahterah.
Kedua, Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Dengan demikian pendidikan
menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan
yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh melehirkan sejumlah
kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat
dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang pembaruan Undang-undang sistem
pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah anggaran pendidikan yang amat
signifikan, yakni dari yang semula hanya 5% menjadi 20% dari total anggaran
APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke arah
pengembangan para kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan melalui
program sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan metode
pembelajaran ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen center).
Ketiga, barbagai kebijakan pemerintahan era roformasi dalam
bidang pendidikan tersebut berlaku bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung
di bawah kementrian pendidkan nasional saja, melainkan juga berlakau bagi
madrasah dan perguruan tinggi agama yang bernaung di bawah kementrian agama. Dengan demikian kesan dikotomis
antar pendidikan agama dan pendidikan umum, dan kesan perlakuan diskriminasi
pemerintah terhadap pendidikan agama sudah tidak tampak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
David Zulkifly, 25 juni, 2015
Drs.
Pairin MA, Sejarah Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Kendari,
CV. Shadra, 2009.
(di akses pada tanggal 27 juni 2015)
http://berbagi-makalah.blogspot.com/2011/02/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html (di akses pada tanggal
24 juni 2015, pukul 16:00)
http://mualiminrajasentani.blogspot.com/2013/11/kebijakan-politik-pendidikan-era_9510.html (diakses
pada tanggal 24 juni 2015, pukul 16:00)
(di akses pada tanggal 25 juni pukul 13:0 tahun
2015)
http://masarevormasi.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
(diakses pada tanggal 25 juni 2015, pukul 09:00)
(di akses pada tanggal 26 juni 2015,
pukul 16:00)
Lampiran :
PERTANYAAN
1.
Apa yang menjadi
kendala pada pendidikan Islam di era reformasi ? (Yasmanto)
2.
Apa yang
menjadi landasan atau ciri sehingga suatu sekolah itu di katakan bertaraf
internasional (SBI) ? (Albar)
3.
Jelaskan apa
yang dimaksud dengan pendidikan satu atap ? (Dasrun)
JAWABAN
1.
Beberapa hal yang menjadi kendala
dan menyebabkan program pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan Islam
belum terpenuhi secara maksimal pada era reformasi antara lain :
a. Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan kelas
bawah
b. Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang bersifat fisik
material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum mendapatkan pos
yang strategis
c. Munculnya sektor industri yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang
serius bagi pendidikkan Islam di Indonesia pada masa refoermasi ini
d.
Perbaharuan-perubahan
sosial yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif
dalam dialegtik pembangunan sebagaimana tersebut diatas.
e.
Bahkan pada
masa pemerintahan Orde lama pendidikan Islam mendapat tantangan secara
politisi. Hal ini terlihat ketika pemerintah sudah mengakui keberadaan
Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar
pendidkan satu atap yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun berkat
kegigihan kaum muslimin, upaya ini tidak berlanjut. Tetapi pembaharuan madrasah
masih bisa dilakukan.
2.
Sekolah bisa disebut dengan SBI jika
sekolah ini telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan pada tiap aspeknya yang
meliputi: standar kompetensi lulusan,
isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,pembiayaan,
pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan
dengan ciri keinternasionalan. Yang di maksud lulusan dengan ciri
keniternasionalan disini yang di maksut adalah lulusan dari sekolah tersebut
mampu menguasai bahasa dunia.
3.
Sekolah Terpadu adalah
sekolah-sekolah yang diselenggarakan berada dalam satu komplek dan di kelola
secara terpadu baik dari aspek kurikulum, pembelajaran, guru, sarana dan
prasarana, managemen, dan evaluasi, sehingga menjadi sekolah yang efektif dan
berkualitas. Kualitas yang dimaksud adalah sekolah tersebut minimal memenuhi
Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya, meliputi kompetensi
lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta
menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan. Di samping itu, Sekolah
Terpadu diharapkan mampu mengembangkan budaya sekolah dan lingkungan sekolah
yang mendukung ketercapaian standar internasional dari berbagai aspek tersebut.
Sekolah terpadu
mengedepankan prinsip seamless education yaitu pendidikan yang saling
berkesinambungan dan terpadu. Building image menjadi satu, sehingga SD, SMP,
dan SMA merupakan satu bagian yang utuh. Seperti guru, staf, lab, ruang kelas,
gedung atau sumber daya sekolah lainnya merupakan milik bersama (resources
sharing).
[1] Drs. Pairin
MA., Sejarah Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Ed. Pertama.
Cet. Ke-1, KENDARI; CV. SHADRA 2009. Hal 21-22
[2]
http://berbagi-makalah.blogspot.com/2011/02/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html ( di akses pada tanggal 24 juni 2015 pukul 16:00 )
[3] Zulkifly David, 25 juni, 2015.
[4]
http://anwarholil.blogspot.com/2009/02/mengembangkan-terpadu.html ( di akses pada tanggal 27 juni 2015 Pukul 10:00 )
[5]http://mualiminrajasentani.blogspot.com/2013/11/kebijakan-politik-pendidikan-era_9510.html (diakses
pada tanggal 24 juni 2015 pukul 16:00)
[6]
https://oktavianipratama.wordpress.com/makalah-makalah/model-pengelolaan-menuju-sekolah-bertaraf-internasional/ (di akses pada tanggal 27 juni tahun 2015, pukul 13:00)
[7]
http://503win.tumblr.com/post/15348375803/sekolah-bertaraf-internasional-sbi-sekolah (di akses pada tanggal 25 juni tahun 2015,
pukul 13:00)
[8]
http://503win.tumblr.com/post/15348375803/ pengembangan-sumber-daya-manusia (di
akses pada tanggal 26 juni 2015, pukul 16:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar