MAKALAH
Perbandingan
Pemikiran Teologi
Tentang Sifat – Sifat
Tuhan
OLEH :
ZULKIFLI DAVID
FIRMAN
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum muslimin abad
pertama hijriyah jika bertemu dengan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang
membahas mengenai sifat-sifat Tuhan, tidak mau membicarakan isinya dan juga
tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya tidak dipahami sebagaimana
makna lahirnya, karena Allah swt, Maha Suci dari persamaan dengan makhluknya. Karena itu persoalan sifat tidak pernah
menjadi pembicaraan pada masa sahabat dan tabiin. Waktu mereka berguna untuk
menghadapi yang lebih penting, yaitu penyiaran Islam dan memperkuat dasar-dasar
Negara yang baru berdiri. Baru
pada masa sesudah mereka, perdebatan mengenai sifat-sifat Allah swt mulai ramai
dibicarakan. Setidaknya telah muncul beberapa aliran yang berusaha membicarakan
mengenai sifat-sifat Allah SWT. Tarik–menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan dalam
persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim yang di bangun atas
dasar kerangka berfikir masing-masing Aliran dan klaim tentang ketauhidan
Allah. Tiap –tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat menyucikan dan memelihara
keesaan Allah.[1]
B.
Rumusan Masalah
Bagiamana Pendapat
aliran-aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pendapat aliran – aliran kalam mengenai sifat- sifat Tuhan
a)
Mu’tazilah
Jadi menurut Mu’tazilah
Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan
lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat
golongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan
cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut
tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari, bersifat negatif.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai
hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak
mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya,
tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti
kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan
itu adalah tuhan itu sendiri.[2]
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang
sifat-sifat Tuhan :
1) An –Nazhzham
menfikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan
qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan,
penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An –Nazhzham mengatakan bahwa jika
ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar,
melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan
sifat-Nya).
2) Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah
adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan
kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah
“bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
Arti
“Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan
atau keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti
“Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.[3]
b)
Asy’ariyah
Kaum
Ay’ariyah berlawanan dengan
Mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut al-Asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat
karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
Dan
menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa
daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah
kekal. Sifat –sifat ini kata al-
ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi
berwujud dalam esensi itu sendiri.
Uraian –uraian
ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariah
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari
Tuhan.
Asy’ari mendasarkan
pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Atau dengan
sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada
Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam
ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin
iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah. Golongan Asy’ariyah
mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka
sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain dari zat-nya.
Jika diamati lebih
cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-Nya”
berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya”
berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari
pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima
pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah
tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap
perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa
lepas dari zat-Nya.[4]
c)
Maturidiyah
Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat
Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi mengakui
adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat tuhan.
Aliran ini mengatakan
bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat
zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti
menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan
maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan
bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka
selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan
sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama
sifat-Nya kekal.
Sedangkan kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini
kelihatanya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan
bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.[5]
Aliran Maturidiyah
mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara
sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al
seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut
golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok ke Asy’ariyah dengan
mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat”
ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari
padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan,
yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat,
lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini golongan
maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat jawaban yang
demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan kontradiksi yang
sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan
Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan
dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga
bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat,
dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti
yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap
Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan,
baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan
mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena
mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula
kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya,
sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran fikiran yang kosong.
Dalam
membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus menggunakan cara tasybih
dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan
kecuali menggunakan kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang
berarti mempersamakn (tasybih). Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk
meniadakan setiap persamaan antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan,
bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih
memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.[6]
d) Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh
Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, mereka menilai
bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari mereka berpendapat
bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Makna Allah berkehendak
menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika gerakan itu
muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa
Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh
Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka beranggapan
bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka mengatakan bahwa Allah terkadang
memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki melakukan
sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada diri-Nya, perubahan itu
bukan arti nasak tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu
apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.[7]
e) Musyabihah (Karramiyah)
Kaum Musyabbihah
artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih
(menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka
mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti
manusia.
Kalau sekiranya kaum
muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan
makhluknya, tentulah tidak timbul
persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir
nash-nash ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau
Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip golongan agama-agama lain yang
mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
Aliran kepercayaan ini
sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan bahwa Tuhan
bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan pemahamannya
hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya
hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya mempercayai
bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada pembahasan di
atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut
merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada awalnya kaum
muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Dalam Al-Qur’an banyak
ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk yang
menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayat yang mengatakan bahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu,
yaitu di atas, di langit, di Arsy,
bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :
أَأَمِنتُم مَّن فِي
السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Artinya “Apakah kamu merasa aman terhadap
Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang (Q.S Al-Mulk:16)
وَهُوَ اللّهُ فِي
السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا
تَكْسِبُونَ
Artinya
“Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui
(pula) apa yang kamu usahakan.”( Q.S Al-An’am:3)
وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ
أَوَّلَ مَرَّةٍ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن
نَّجْعَلَ لَكُم
مَّوْعِداً
Artinya “Dan mereka akan dibawa
ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami,
sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu
mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu
(memenuhi) perjanjian.”(Q.S Al-Kahfi:48)
Demikian
pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut
:“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam
terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaKU akan saya kabulkan. Siapa yang minta ampun,
saya ampuni.”
Selain
Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama
surat-surat tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru,
yaitu Islam, sesudah menunjukkan
salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
Bagaimanapun juga
golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan segolongan
kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada permulaan Islam
berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian besar
dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka
tetap memegangi prinsip tidak adanya
persamaan antara Tuhan dengan makhluk.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya pendapat aliran-aliran kalam
mengenai sifat-sifat tuhan setiap aliran mempunyai pendapat masing-masing
diantaranya:
Mu’tazilah mereka menganggap bahwa Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan
lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat
golongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Kaum Ay’ariyah berlawanan dengan mu’tazilah di atas. Mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari sendiri
tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham
mu’tzilah, perbedannya al-maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan
mu’tazilah menolak adanya sifat Tuhan.
rafidhah menyifati Tuhannya
dengan bada (perubahan) mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak
perubahan, sebagian mereka mengatakan
bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Musyabbihah artinya
kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka
menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Tuhan adalah
bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, M. 2000. Tauhid ilmu kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Abbas, Siradjuddin. 2002. I’tiqad Ahlusunnah Wal
jama’ah. bandung: PT Pustaka Setia
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abul. 2006.
Ilmu Kalam Banbung : CV Pustaka Setia
http://pstaiannawawi.blogspot.com/2013/06/pemikiran-aliran-aliran-kalam-mengenai.html di akses tgl 07/05/2015
1http://www.referensimakalah.com/2012/12/perbedaan-aliran-mengenai-sifat-tuhan.htm (diakses pada tanggal 25 april 2013)
[6]http://www.referensimakalah.com/2012/12/perbedaan-aliran-mengenai-sifat-tuhan.htm (diakses pada tanggal 25 april 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar